Mencermati pertarungan Pilkada DKI putaran kedua yang
akan dilaksanakan 20 September nanti sedikit banyak ada kesamaan dengan
pertarungan Pilpres 2004 antara Megawati vs SBY. Terutama dalam
strategy meraih simpati publik yang dilakukan pasangan calon bersama tim
suksesnya dan ekspektasi masyarakat pendukungnya. Posisi Fauzi Bowo
(kandidat incumbent Pilkada DKI 2012) dalam hal ini dapat disamakan atau
mirip dengan Megawati Soekarno Purti (kandidat incumbent Pilpres 2004).
Dan Jokowi (sang penantang) mirip dengan SBY.
Mengapa pertarungan Fauzi Bowo vs Jokowi disamakan dengan Megawati vs SBY 2004?.
Jawabannya adalah sebagai berikut; Perolehan suara pasangan
Megawati-Hasyim Muzadi dalam pilpres 2004 pada putaran pertama kalah
dengan dengan pasangan SBY-JK dan pasangan SBY-JK menang lagi dalam
pilpres putaran kedua. Megawati adalah calon presiden incumbent
didukung hampir semua jaringan birokrasi pemerintahan dan didukung
partai-partai besar yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan. Sama
dengan pilgub DKI, Fauzi Bowo (kandidat Incumbent kalah diputaran
pertama) dan didukung partai-partai besar di putaran kedua namun hasil
akhirnya kita lihat nanti. Kenapa Megawati kalah? Citra Megawati saat
itu bisa dikatakan tidak terlalu buruk, karena saat itu dia hanya
meneruskan sisa jabatan Almarhum Gus Dur yang digulingkan pada
pertengahan 2001. Rezim Megawati “kadung” dicitrakan sangat negatif oleh
hampir semua media massa (cetak dan elektronik) nasional. Pemberitaan
dipenuhi dengan skandal korupsi, perjudian dan isu kemiskinan. Ditambah
dengan maraknya aksi-aksi demonstrasi mahasiswa Anti Rezim Megawati,
akhirnya Megawati kalah dan terpental keluar dari Istana. Citra Megawati
saat itu hampir sama dengan citra Fauzi Bowo saat ini, dianggap tidak
berbuat banyak untuk masyarakat, dicitrakan negatif beberapa media massa
dan didemo mahasiswa. Walaupun tuduhan itu tidak pernah dibuktikan
kebenarannya. Peran media massa dalam hal ini sangat mempengaruhi karena
perebutan diruang opini publik.
SBY yang waktu itu adalah calon presiden yang tidak terlalu
diperhitungkan akhirnya memenangkan Pemilihan Presiden 2004 dengan
mudah. Bagaimana SBY bisa menang dalam Pilpres 2004? SBY dikenal sebagai
calon presiden yang mengandalkan pencitraan dan mampu memeran sebagai
orang yang terdzolimi (karena pernyataan Taufiq Kiemas) sehingga membuat
rakyat simpati kepadanya, ditopang dengan dukungan media massa nasional
serta “amunisi” lumayan banyak. Jargon yang diusungnya adalah
“Perubahan” dikemas apik oleh Eef Saefuloh Fatah (konsultan politik dan
pencitraan) SBY. Sama persis dengan yang diperankan Jokowi saat ini.
Ekspektasi masyarakat pada SBY saat itu sangat tingggi karena
menjanjikan perubahan yang akan membawa bangsa Indonesia lebih baik,
sejahtera dan bersih KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme) sama dengan
ekspektasi masyarakat pada Jokowi. Namun, beberapa kalangan harus kecewa
karena rezim pemerintahan SBY tidak seperti apa yang mereka harapkan.
Rakyat kala itu tersirap dengan pencitraan yang dibuat tim sukses SBY.
Dan, Megawati yang dikenal sebagai sosok pemimpin sederhana dan tidak
munafik kalah dalam pertarungan pilpres karena tidak pandai membangun
citra positif yang penuh kepura-puraan.
Dari uraian diatas penulis berkesimpulan strategi yang digunakan dalam
pertarungan SBY vs Megawati dalam Pilpres 2004 banyak kemiripan dengan
pertarungan Pilkada 2012 Fauzi Bowo vs Jokowi begitu pula dengan
beberapa konsultan dibelakangnya. Namun untuk menyamakan hasil
pertarungan Pilpres 2004 dan Pilkada 2012 kita harus menunggu pada
waktunya nanti. Dan semoga masyarakat tidak tertipu dengan “kemasan”
bagus tapi palsu dan menyesal dikemudian hari karena yang dipilihnya
tidak bisa berbuat banyak untuk mereka.
Sabtu, 29 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar